Imam Syafii Sang Pembela Sunnah dan Hadits Nabi
*Nama dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap
adalah Muhammad bin Idris bin al-'Abbas bin 'Utsman bin Syafi' bin as-Saib bin 'Ubayd
bin 'Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin 'Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau
bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri 'Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu,
beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan
paman-jauh beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di
jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di
Madinah lalu berpindah dan menetap di 'Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina)
dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi', kakek dari kakek
beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi'i)- menurut sebagian
ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi', sendiri
termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah
shollallahu'alaihiwasallam. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy
dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan
menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi'i
berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi
kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan
nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari
kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi'i bukanlah asli
keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala' saja. Adapun
ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat
mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin 'Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain
menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kunyahUmmu
Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi'i adalah seorang
wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang
faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat KelahirannyaWaktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga
dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah
dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat
yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah
kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir.
Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua
farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat
digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama
Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke
negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena
sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun,
beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan
terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari IlmuPertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi 'i dan ibunya tinggal di dekat Syi'bu al-Khaif. Di sana, sang ibu
mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk
membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat
kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi'i bercerita, "Di al-Kuttab
(sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ
membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai
ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, ‘Tidak halal
bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.’” Dan ternyata kemudian dengan segera
guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia
tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah
menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil
Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam
kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan
pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai
menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits
Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan
bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan
menghafal kitab Al-Muwaththa' karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau
berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau
memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah
terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya,
sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan
menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal
yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa
dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan
lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin
Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin 'Ali bin Yazid agar mendalami
ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau
melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti
Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-'Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi' -yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin 'Uyainah -ahli hadits Mekkah-,
Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa'id bin Salim, Fudhail bin 'Iyadh, dan lain-lain.
Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa' Imam
Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan
menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap
ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di
antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk
mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya.
Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa'. Maka
berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau
membaca al-Muwaththa' yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu
membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam
Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di
samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti
Ibrahim bin Abu Yahya, 'Abdul 'Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma'il bin Ja'far,
Ibrahim bin Sa'd dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di
sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi,
serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan -satu hal
yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman,
nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan
keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada
Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan
bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi'i hidup pada masa-masa awal pemerintahan
Bani 'Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu,
setiap khalifah dari Bani 'Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan 'Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam
dalam memadamkan pemberontakan orang-orang 'Alawiyah yang sebenarnya masih
saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih
yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi'i secara
khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang
mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau
pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa
takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan
kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu', padahal
sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu' model orang-orang syi'ah. Bahkan
Imam Syafi'i menolak keras sikap tasysyu' model mereka itu yang meyakini
ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta 'Utsman , dan hanya meyakini
keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan
beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang
terdapat dalam Al-Quran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu
ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli
fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan
pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan
dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang 'Alawiyah. Beliau bersama
orang-orang 'Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah
menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa
mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka.
Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi'i berusaha memberikan penjelasan kepada
Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad
bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang
ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan
majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan
'Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan
mendalami madzhab Ahlu Ra'yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada
Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma 'il bin 'Ulayyah dan Abdul Wahhab
ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali
ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat
dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah.
Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan,
bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal
luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi
mengirim surat kepada Imam Syafi'i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang
berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan
ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di
sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana
telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits
merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh
Ahlu Ra'yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di
Masjid Jami ' al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra 'yu. Tetapi ketika hari
Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke
Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para
penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada
setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di
sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh
para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu
kalam. Sementara Imam Syafi'i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam.
Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh -yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu
karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam
menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat
padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau
tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak
madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan
banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal
sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan
memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama
yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad
bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi'i kemudian memutuskan pergi ke
Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia
menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan
masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah
kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir
kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela SunnahKeteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan
suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi
sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari
keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari
kalangan ahli kalam. Beliau berkata, "Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi,
maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain." Karena
komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir
as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam,
mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, "Setiap orang
yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka
ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah
igauan belaka." Imam Ahmad berkata, "Bagi Syafi'i jika telah yakin dengan
keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang
terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik
kepada fiqih." Imam Syafi 'i berkata, "Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu
kalam dan ahlinya." Al-Mazani berkata, "Merupakan madzhab Imam Syafi'i membenci
kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam."
Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu
kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta
dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu
adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu
kalam.
*Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit
bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah
parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat
setelah shalat Isya' hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54
tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi'i, sesudah wafatnya.
Dia berkata kepada beliau, "Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu
Abdillah?" Beliau menjawab, "Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan
menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus."
KaranganKarangan----KarangannyaKarangannyaKarangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan
perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis
banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan
menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain.
Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya
disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat. Yang paling terkenal di antara
kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta
kedudukannya dalam syariat.
Sumber:Sumber:
1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal. 3-33
2. Siyar A'lam an-Nubala'
3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi', terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi 'i fi
Itsbat al-'Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi 'i, Cirebon
Sumber: Majalah Fatawa
*Nama dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap
adalah Muhammad bin Idris bin al-'Abbas bin 'Utsman bin Syafi' bin as-Saib bin 'Ubayd
bin 'Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin 'Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau
bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri 'Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu,
beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan
paman-jauh beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di
jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di
Madinah lalu berpindah dan menetap di 'Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina)
dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi', kakek dari kakek
beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi'i)- menurut sebagian
ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi', sendiri
termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah
shollallahu'alaihiwasallam. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy
dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan
menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi'i
berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi
kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan
nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari
kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi'i bukanlah asli
keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala' saja. Adapun
ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat
mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin 'Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain
menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kunyahUmmu
Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi'i adalah seorang
wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang
faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat KelahirannyaWaktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga
dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah
dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat
yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah
kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir.
Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua
farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat
digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama
Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke
negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena
sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun,
beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan
terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari IlmuPertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi 'i dan ibunya tinggal di dekat Syi'bu al-Khaif. Di sana, sang ibu
mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk
membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat
kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi'i bercerita, "Di al-Kuttab
(sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ
membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai
ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, ‘Tidak halal
bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.’” Dan ternyata kemudian dengan segera
guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia
tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah
menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil
Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam
kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan
pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai
menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits
Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan
bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan
menghafal kitab Al-Muwaththa' karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau
berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau
memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah
terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya,
sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan
menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal
yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa
dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan
lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin
Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin 'Ali bin Yazid agar mendalami
ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau
melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti
Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-'Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi' -yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin 'Uyainah -ahli hadits Mekkah-,
Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa'id bin Salim, Fudhail bin 'Iyadh, dan lain-lain.
Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa' Imam
Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan
menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap
ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di
antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk
mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya.
Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa'. Maka
berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau
membaca al-Muwaththa' yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu
membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam
Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di
samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti
Ibrahim bin Abu Yahya, 'Abdul 'Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma'il bin Ja'far,
Ibrahim bin Sa'd dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di
sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi,
serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan -satu hal
yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman,
nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan
keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada
Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan
bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi'i hidup pada masa-masa awal pemerintahan
Bani 'Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu,
setiap khalifah dari Bani 'Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan 'Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam
dalam memadamkan pemberontakan orang-orang 'Alawiyah yang sebenarnya masih
saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih
yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi'i secara
khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang
mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau
pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa
takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan
kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu', padahal
sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu' model orang-orang syi'ah. Bahkan
Imam Syafi'i menolak keras sikap tasysyu' model mereka itu yang meyakini
ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta 'Utsman , dan hanya meyakini
keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan
beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang
terdapat dalam Al-Quran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu
ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli
fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan
pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan
dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang 'Alawiyah. Beliau bersama
orang-orang 'Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah
menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa
mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka.
Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi'i berusaha memberikan penjelasan kepada
Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad
bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang
ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan
majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan
'Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan
mendalami madzhab Ahlu Ra'yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada
Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma 'il bin 'Ulayyah dan Abdul Wahhab
ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali
ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat
dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah.
Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan,
bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal
luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi
mengirim surat kepada Imam Syafi'i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang
berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan
ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di
sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana
telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits
merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh
Ahlu Ra'yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di
Masjid Jami ' al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra 'yu. Tetapi ketika hari
Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke
Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para
penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada
setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di
sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh
para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu
kalam. Sementara Imam Syafi'i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam.
Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh -yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu
karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam
menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat
padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau
tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak
madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan
banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal
sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan
memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama
yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad
bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi'i kemudian memutuskan pergi ke
Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia
menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan
masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah
kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir
kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela SunnahKeteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan
suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi
sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari
keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari
kalangan ahli kalam. Beliau berkata, "Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi,
maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain." Karena
komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir
as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam,
mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, "Setiap orang
yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka
ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah
igauan belaka." Imam Ahmad berkata, "Bagi Syafi'i jika telah yakin dengan
keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang
terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik
kepada fiqih." Imam Syafi 'i berkata, "Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu
kalam dan ahlinya." Al-Mazani berkata, "Merupakan madzhab Imam Syafi'i membenci
kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam."
Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu
kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta
dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu
adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu
kalam.
*Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit
bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah
parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat
setelah shalat Isya' hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54
tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi'i, sesudah wafatnya.
Dia berkata kepada beliau, "Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu
Abdillah?" Beliau menjawab, "Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan
menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus."
KaranganKarangan----KarangannyaKarangannyaKarangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan
perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis
banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan
menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain.
Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya
disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat. Yang paling terkenal di antara
kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta
kedudukannya dalam syariat.
Sumber:Sumber:
1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal. 3-33
2. Siyar A'lam an-Nubala'
3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi', terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi 'i fi
Itsbat al-'Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi 'i, Cirebon
Sumber: Majalah Fatawa
0 komentar:
Posting Komentar