Virus HIV masih menjadi momok yang mematikan. Namun, baru-baru ini, ilmuwan
mengupayakan modifikasi genetik untuk mengurangi risiko penyakit ini.
Benarkah?
Upaya modifikasi yang dimaksud dapat menciptakan sel yang tahan terhadap dua jenis ancaman virus HIV, dan mencegah pengembangan virus tersebut.
Hal ini merujuk pada studi yang baru-baru ini dirilis oleh para peneliti di Stanford University School of Medicine dan University of Texas di Austin, AS.
Para peneliti menggunakan metode yang dikenal sebagai penyusunan sifat yang dimaksudkan untuk menyusupkan serangkaian gen resisten HIV ke dalam sel T.
Sel T merupakan sel kebal yang disasar oleh virus HIV. Sel ini berfungsi memblokir infeksi pada beberapa tahapan dan memberikan perlindungan dari dua virus utama HIV, yaitu CCR5 dan CXCR4.
"Kami menonaktifkan gen CCR5, dan menyusupkan tiga gen tambahan," jelas Dr Matthew Porteus, profesor pediatrik di Stanford sekaligus kepala riset ini, kepada ABC News.
"Ketika sel-sel memiliki keempat sifat, setelah 25 hari, kami menemukan bahwa sel-sel tersebut benar-benar resisten terhadap kedua jenis virus HIV," tambahnya.
Salah satu tantangan utama untuk menjinakkan HIV adalah tingkat mutasi virusnya yang tinggi. Sebab itu, pasien harus menggunakan campuran koktail obat-abatan, yang dikenal sebagai terapi antiretroviral (ART), untuk melawan virus pada sejumlah tahap yang berbeda.
"HIV bisa berubah-ubah," kata Sara Sawyer, asisten profesor genetika molekuler dan mikrobiologi dari University of Texas di Austin. "Sehingga, satu obat saja tidak akan bekerja dengan baik. Itulah kenapa pasien HIV diberi obat sekaligus," tandasnya.
Sel-sel T yang telah direkayasa mengandung koktail lantas diberikan kepada pasien HIV. Dengan sel T, sistem kekebalan tubuh pasien akan resistan terhadap virus HIV. Sedangkan, sel yang tidak resisten akan terbunuh oleh virus HIV.
"Metode ini akan membentengi runtuhnya sistem kekebalan tubuh, dan infeksi sekunder yang akhirnya menimbulkan AIDS," tutur Sawyer.
Langkah selanjutnya, sel-sel T yang sudah dimodifikasi ini perlu diuji pada hewan untuk memastikan apakah sel tersebut tetap resisten terhadap virus dalam jangka waktu yang lama.
Langkah ini harus ditempuh sebelum metode ini mendapat persetujuan uji klinis oleh Food and Drug Administration di AS, yang bisa memakan waktu 3-5 tahun.
"Untuk mengembangkan metode baru, Anda harus optimis," kata Porteus. "Temuan dalam penelitian ini adalah bukti dari sebuah konsep. Kami telah membuktikan metode ini bisa bekerja," pungkasnya.
Source:teknologi.news.viva.co.id